TIRTA DAN BIJA
Wija atau bija adalah lambang
Kumara, yaitu putra atau wija
Bhatara Siwa. Pada hakekatnya
yang dimaksud dengan Kumara
adalah benih ke-Siwa-an/
Kedewataan yang bersemayam
dalam diri setiap orang. Mawija
mengandung makna menumbuh-
kembangkan benih ke-Siwa-
an itu dalam diri seseorang.
Sehingga disarankan agar dapat
menggunakan beras galih yaitu
beras yang utuh, tidak patah
(aksata). Alasan ilmiahnya adalah
beras yang pecah atau terpotong
tidak akan bisa tumbuh. Jadi
makna dari penggunaan Bija
dalam persembahyangan ialah
untuk menumbuh kembangkan
sifat Kedewataan/ Ke-Siwa-aan/
sifat Tuhan dalam diri. Seperti
yang disebutkan dalam Upanisad
bahwa Tuhan memenuhi alam
semesta tanpa wujud tertentu
tidak berada di surga atau di
dunia tertinggi melainkan ada
pada setiap ciptaan-Nya.
Ada lima titik peka untuk
menerima rangsangan
kedewataan yang disebut Panca
Adisesa yakni titik-titik berikut
ini
1. Di pusar yang disebut titik
manipura cakra.
2. Di hulu hati (padma hrdaya)
zat ketuhanan diyakini paling
terkonsentrasi di dalam bagian
padma hrdaya ini (hati berbentuk
bunga tunjung atau padma). Titik
kedewataan ni disebut Hana
hatta cakra.
3. Di leher, diluar kerongkongan
atau tenggorokan yang disebut
wisuda cakra.
4. Di dalam mulut atau langit-
langit.
5. Di antara dua alis mata yang
disebut anjacakra.sebenarnya
letaknya yang lebih tepat, sedikit
diatas, diantara dua alis mata itu.
Tirta berasal dari bahasa
Sansekerta Tirtha yang artinya
kesucian atau setitik air, air
suci, atau bersuci dengan air.
Dalam persembahyangan umat
Hindu, air merupakan sarana
penting. Dalam seluruh proses
persembahyangan umat Hindu,
pasti melibatkan air.
Pemercikan tirtha dilakukan
berulang kali, ada yang sebelum
persembahyangan dimulai, dan
ada juga yang diberikan setelah
persembahyangan. Pemercikan
tirtha berfungsi untuk
membersihkan diri, baik dari hal-
hal menggangu yang terlihat
dan tidak terlihat (seperti pikiran
negatif, cemas, takut).
Komentar
Posting Komentar